DIMENSI
SOSIAL KEAGAMAAN DALAM FIKSI INDONESIA MODERN
1. Identitas
Buku :
a) Judul : Dimensi Sosial
Keagamaan Dalam Fiksi Indonesia Modern
b) Tebal
buku :1 cm
c) Jumlah
halaman :230 halaman
d) Panjang :19,5 cm
e) Lebar :14,5 cm
f) Warna Sampul :Merah
BAB
1
DIMENSI SOSIAL KEAGAMAAN DALAM
NOVEL KELUARGA PERMANA
Dimensi
sosial keagamaan merupakan salah satu benang merah yang menonjol dalam KP. Dalam analisis struktur pada bab III
terdapat lima titik dasar dimulainya keseluruhan yang struktur naratif KP yakni S-1, S-3,S-4, S-21 dan S-28.
Yaitu pada S-1 ( masa remaja ida), S-3 ( latar belakang kejadian),S-4 (
kehadiran Suwarto menumapang indekos di rumah Permana dan kehamilan Ida), S-21
( Keinginan Suwarto mengawini Ida dengan ‘menekan’ Ida agar pindah agama dan S-28 (Ida meninggal).
Timbulnya konflik keagamaan tersebut
dilatar belakangi oleh adanya proses sosial pada para tokoh yakni yang
menyangkut hubungan sosial dengan ekonomi, hubungan ekonomi dengan moral,
keluarga dengan agama, dan sebagainya. Jadi dapat disumpulkan bahwa agama
(religi) adalah : (1) sistem credo ( tat keimanan atau keyakinan) atas adanya
sesuatau yang mutlak di luar manusia; (2) ritus atau tata peribadatan, yakni
tata aturan yang dari pencipytauntuk dijalankan oleh ciptaanya; (3) norma (
tata kaidah atau aturan) yang menghubungkan manusia dengan manusia dengan alam
lainya sesuai dengan tata keimanan dan tata peribadatan seperti termaktup di
atas di atas ( Anshari, 1976: 32-33).
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa
keagamaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan tata keimanan, tata
peradatan terhadap tuhan dan tata peradapatan hungan manusia dengan sesama
manusia dan alam. Bertolak pada batasan-batasan di atas dapat dirumuskan bahwa
dimensi keagamaan adalah segala macam norma yang menggenai gejala sosial dalam
hubunga timbal balik dalam kehidupan kemasyarakatan.
4.1
Dimensi sosial Keagamaan Dalam Kleluarga
Permana.
Masalah
perpindahan agama yamg merupakan masalah besar dalam Indonesia yang religius,
kolektif dan komunal sifatnya. Perpindahan agama dengan berbagai efek dan
konflik sosial yang belum banyak dikemukakan. Pedoman Dasar Kerukunan Beragama
( Departemen Agama) tidak sulit mengasosiasikan keduanya. Pedoman
itu berisi pokok-pokok kebijaksanaan pemerintah RI mengenai kerukurana umat
beragama yakni: (1) Kerukunan intern umat Bergama, (2) Kerukunan atar umat
beragama dan Kerukunan umat beragama denga pemerintah.
4.1.1 Perpindahan Agama Sebagai Sumber Konflik
Sosial.
Perpindahan
agama yaitu perpindahan agama seseorang dari agama satu ke agama yang lainya(
Ratuperwiranegara, dalam Departeman Agama) dapat menyingung perasaan kelompok
agamanya atau lingkungan masyarakat. Lebih-lebih jiki perpindahan agama
tersebut dinilai oleh lingkunganya sebagai sesuatu yang tidak wajar, karewna
bujukan, rayuan , damn pemberian materi, cara-cara penyiaran agama dengan masuk
ke luar rumah ke rumah orang lain yang
telah memeluk agama lain dan sebagainya. Nilai-nilai peristiwa perpindahan
agama dalam KP dapat dikelompokan dalam beberapa bagian sebagai berikut :
4.1.1.1
Percampuran Perkawinan Islam Katolik
Masalah pertama yang muncul menjadi sorotan
tajam dalam KP adalah perkawinan
campuran antara gadis islam dengan pemuda katolik. Bagaimana dan dengan alasan
apapun perkawinan campuran, di dalam KP
antara keluarga islam dengan katolik dalam masyarakat Indonesia yang dikenal
religious ternyata sering menimbulkan aberbagai ketegangan dan konflik social.
Perkawinan campuran dapat menimbulkan perlawanan sosial pada masyarakat.
Perkawinan campuran dapat menciptakan benturan antar umat beragama dan konflik
batin dalam diri yang bersangkutan dan keluarganya. Disilah nilai KP, yang didalamnya terdapat
keseimbimbagan. Di Satu pihak tindakan penekanan yang dilakukan Sumarto jelas
merupakan suatu pelangaran hak asasi manusia dalam hal kebebasan beragama yang
sangat prinsipial.
Dipihak
lain KP juga mengkritik orang tua yang kurang memperhatikan agama dalam
kehidupan bkeluarga sehingga imanya mudah goyah menghadapi cobaan dan tantangan
hidup ( dalam KP demi perkawinan dengan kekasihnya).
4.1.1.2
Upacara Pembastisan.
Bagi
orang yang sejak kecil menyakini agama tertentu sebagai pegangan hidup kemudian
tiba-tiba ia harus mengalami pemutusan ikatan keimanan atau akidah, jelas tidak
mudah menjalaninya. Lebih tepatnya dalam KP
perpindahan agama yang secara formal ditandai dengan upacara pembastisan di
gereja. Yang menarik dari peristiwa itu adalah timbulnya konflik batin bagi
oran yang bersangkutan, meskipun ia mencoba melawanya.
4.1.1.3
Upacara Pemakaman Jenasah Yang Meresahkan
Suatu
nilai sosial kegamaan yang juga menarik diungkapkan oleh KP yang berkaitan dengan masalah perpindahan agama adalah konflik
sosial dan konflik batin para tokoh yang terjadi disekitar upacara pemakaman
jenasah. Konflik sosial sudah mulai timbul sejak dirumah sakit ketika seorang
perawat untuk menuntut Ida membaca kalimat syahadat.
Efek
atau dampak dari perpindahan beragama teryata tidak kecil.Perpindahan beragama
menimbulkan konflik batin yang dasyat bagi yang bersangkutan (Ida) dan orang
tuanya, juga sanak keluarhganya, serta yang lebih berbahaya operistiwa itu
dapat mengandung konflik sosial masnyarakat lingkunganya.
4.1.2 Pengembagan Agama pada Umat Beragama
Pengembangan
agama yang dilakukan oleh agama tertentu kepada umat beragama yang lain disoroti
dengan tajam. Pengembagan agama pada umat beragama akan menimbulkan gejolak dan
benturan-benturan social karena dapat menyingung perasaan keagamaan masyarakat
lingkunganya ( Departemant Agama, 1987/1984: 37). Pengembagan tidak dibenarkan
ditujukan kepada umat atau kalangan
masyarakat yang sudah beragama, seperti
diatur dalam pedoman dasar kerukunan um at beragama (Departemant Agama, 1979;
1983/1984 ).\
4.1.3 Krisis Ketakwaan Sebagai
Sumber Masalah Sosial
Nilai
yang tak kalah pentingnya dalam KP,
adalah krisis ketakwaan sebagai sumber terjadinya masalah sosial dalam kehipan
msyarakat kurangya penghayatan agama para tokoh, menimbulkan berbagai maslah
sosial dalam proses dan interaksi sosialnya. Lebih tepatnya krisis ketakwaan
tokoh permana, Ida, dan sumarto, menyebabkan terjadinya perilaku yang melangar
hukum, nilai moral dan agama.
4.1.3.1 Korupsi dan Memperkaya Diri
Masalah
pertama yang disoroti KP
kaitanya dengan adanya gejala krisis
ketakwaan adalah korupsi. Korupsi disoroti sebagi perbuatan criminal dan
penyakit masyarakat teruitama yang melanda pada pejuang revolusi yan lmerupakan
tokoh atau pemuka masyarakat terhormat. Korupsi merupkan jalan pintas yang
dilakukan oleh orang tertentu ang ingin mem,enuhi ambisi materialnya pada zaman
modern ini akibatnya terjadilah pengambilan jalan pintas untuk ,memenuhi ambisi
materialnya degan berbagai cara seperti perampokan, perampasan, korupsi, dan
sebagainya.
4. 1. 3. 2 Penyalahgnaan Jabatan
Bentuk
lain gejala krisis ketakawaan para tokoh adalah penyalahgunaan jabatan atau
kekuasaan. Implikasinya adalah penyelewengan hukum. Dengan memanfaatkan
kekuasaanya orang tidak segan –segan melangar peraturan hukum. Dalam KP hal ini dilukiskan melai Permana,
atasan dan rekan-rekanya, serta tokoh lainya.
4. 1. 3. 3 Dekadensi Moral Remaja
dan Kawin Paksa Versi Modern
Nilai
lain dari krisis ketakwaan para tokoh adalah adanya gejala dekadensi moral dan
kawin ‘paksa’ versi modern dikalangan remaja. Dalam KP yang berkaiatan satu
dengan yang lain itu di gugat Ramadhan dengan warna baru. Artinya, dekadensi
moral dan kawin paksa versi modern yang dideskripsikan melalui tokoh Ida dan
suwarto itu terjadi bukan semata-mata dilihat dari prespektif sosilogis melaikan juga disoroti dari moral dan agama.
Gagasan
lain yang dapat diambil dari dekadensi moral yang berkaitan dengan zina adalah
aborsi, yang dewasa ini semakin banyak dilakukan orang sebagai jalan pintas
untuk tujuan tertentu, dalam KP menghilangkan aib. Orang sering lupa bahwa
aborsi selain menimbulkan effek yang berbahaya bagi sipelaku baik dari segi
fisik maupun psikis, disamping dilarang
oleh agama dan hokum perdata, karena dapat dipandang sebagai tindakan
pembunuhan (Sahli, Tanpa Tahun : 63). Dari segi kesehatan fisi aborsi dapat
menimbulkan pendarahan sehingga wajahnya tampak pucat lesi dan badan kelihatan
layu. Adapun dari segi psikis aborsi dapat menimbulkan perasaan rendah diri,
karena si pelaku merasa kehilangan buah cinta yang disayangkan, bahkan juga
kehilangan kehormatannya.
Terkait
erat dengan dekadensi moral sebagai gejala adanya krisis ketaqwaan para tokoh,
suatu hal baru dalam KP adalah adanya kasus kawin ‘paksa’ di kalangan
masyarakat modern. Mengapa baru ? Pada zaman dulu hingga awal abad ke-20,
banyak rumah tangga berdiri di atas galangan kawin paksa. Artinya, pengantin
perempuan oleh orang tuanya dikawinkan secara paksa dengan laki-laki yang
mungkin tak dikenalnya, lebih-lebih dicintainya dengan alasan apapun. Begitu
pula sebaliknya, banyak pemuda oleh orang tuanya dipaksa mengawini seorang
gadis yang sama sekali tak dicintainya.
4.1.4 Zina dan Aborsi : Fenomena
Pelanggaran Etika Sosial dan Agama
Gagasan
dalam KP juga terlihat dalam peristiwa perzinaan (hubungan seks pranikah) dan
aborsi (pengguguran kandungan). Aborsi sering tidak terlepas dari perzinaan. Dalam
KP aborsi dilakukan karena adanya hubungan pranikah, meskipun dalam realitas
social aborsi sering juga dilakukan oleh wanita bersuami. Yang jelas biasanya
aborsi dilakukan karena janin atau calon bayi yang dikandung tidak atau belum
dikehendaki.
Dewasa
ini perbuatan zina tampaknya mulai dianggap sebagai hal yang biasa, bukan lagi
perbuatan yang hina atau memalukan. Indikasinya adalah pezina tidak lagi merasa
bersalah atas perbuatanya itu. Padahal agama melarang keras dan mengutuk
perzinaan sebagai “perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan” (QS.Al-Isra :32),
dan mengancam para pezina dengan hukuman berat. Pezina yang belum kawin diancam
dengan hukuman cambuk seratus kali, sedangkan pezina yang sudah kawin(zina
mukhsar), dihukum rajam atau dicambuk hingga mati, dengan disaksikan oleh orang
banyak. Aborsi merupakan perbuatan amoral yang melanggar tata susila, norma
sosial, hukum dan agama.
4.1.5 Peran Agama dalam Rumah
Tangga dan Perilaku Anak
Agama
memiliki peran besar di dalam kehidupan rumah tangga dan membentuk perilaku
anak. Seperti diketahui, bahwa unsur terpenting yang menjadi pengendali dan
penentram dalam kepribadian manusia adalah agama. Oleh karena itu, moral,
kepribadian dan kesehatan jiwa tidak dapat dipisahkan dari agama (Daradiat,
1993 :39).
Peran
agama dalam keluarga dan lebih-lebih dalam pembinaan perilaku anak begitu
besar. Artinya, pengaruh agama terhadap kesehatan jiwa dan kepribadian
seseorang baik dalam rumah tangga pertumbuhan maupun pembinaanya sangat
penting. Dikatakan oleh Daradjat (993 :40), bahwa agama bertolak dari keimanan
kepada Tuhan. Keimanan itu memberikan kelegaan dan ketentraman batin itu adalah
pangkal kesehatan jiwa dan kepribadian yang kuat.
Dalam
perspektif yang lebih luas, anak akan menjadi orang yang shalih (baik) dan berakhlak
mulia (akhlaqul karimah), atau sebaliknya anak jahat dan akhlaknya tercela,
bergantung pada peran orang tua dalam membentuk kepribadianya.
4.1.6 Iman sebagai Pengendali Diri
Dimensi
social keagamaan yang substansial sifatnya yakni iman dikomunikasikan pula
dalam KP. Nilai ini berkaitan dengan ketegaran dan ketenangan seseorang dalam
menghadapi berbagai problema kehidupan karena hidup manusia memang penuh cobaan
yang dating dari Tuhan, baik cobaan yang menyenangkan maupun cobaan yang
menyedihkan (Q.S. Al-Ambiya :35, QS al-baqoroh :155,QS at-taghabun :15). Hanya
imanlah yang dapat menjadi pengendari diri bagi manusia dalam benteng terhadap
berbagai problema dan tantangan yang sering dating melanda manusia dalam
kehidupanya.
4.1.7 Agama sebagai Pedoman Meraih
Kebahagiaan
Nilai
lain dalam KP yang menarik adalah pentingnya agama dalam kehidupan
manusia.Berbagai peristiwa yang terjadi dalam KP yang dialami oleh para tokoh
berkaitan dengan peran agama sebagai pegangan manusia dalam menempuh
kehidupanya.
Taqwa
didalam Islam dikenal sebagai landasan utama segala tingkah laku manusia untuk
mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Tqwa, menurut
Hadikusuma (1980 :19-20) berarti takut, maksudnya ialah meyakini bahwa Allah
menguasai dan menentukan perjalanan hidup dan nasib manusia dengann sifat-Nya
Yang Maha Pengasih, tetapi juga dengan siksa-Nya yang amat pedih bagi hamba-Nya
yang berbuat kejahatan. Oleh karena itu orang yang bertaqwa sangat berhati-hati
dalam segala tindakanya agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan jahat. Dengan
taqwa itu manusia akan dapat menjaga dan mencapai kebahagiaan hidup seperti
diisyaratkan oleh Allah dalam Q.S Al-baqoroh :197.
Dengan
ringkas dapat dikatakan, bahwa taqwa yang berintikan iman dan mal shalih itu
sangat diperlukan dalam hidup manusia, jika ingin hidup tentram sejahtera dan
bahagia (QS.ar-Ra’d:28-29). Taqwa merupakan sebaik-sebaik bekal bagi manusia
yang mau berfikir (QS. Al-baqoroh :197). Oleh karena itu, sering dikatakan
bahwa seluruh ajaran agama itu jika dilepas intinya tidak lain adalah taqwa.
Kurangnya taqwa itu pula yang menyebabkan orang mementingkan keduniaan daripada
agama atau takut kepada Allah. Akibat dari kurangnya penghayatan agama itulah
yang membuat orang menjadi mudah keaewa, gelisah, jiwanya goncang, putus asa
dan kehilangan akal sehatnya ketika tertimpa bencana atau musibah dalam
hidupnya.
Berdasarkan
analisis makna KP pada bab IV (4.1) terlihat bahwa gagasan yang berkaitan
dengan dimensi social keagamaan merupakan pokok persoalan atau gagasan utama
KP.
4.2 Realitas Sosial Budaya
Indonesia 1970-an dan Keluarga Permana
Berikut
ini adalah paparan makna dimensi social keagamaan dan teganganya dengan
realitas social budaya Indonesia pada paroh kedua dejade 1950-an hingga paroh
pertama decade 1970-an. Dimensi social keagamaan yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah dimensi kemasyarakatan yang berkaitan dengan tata keimanan tata
peribadatan dan tata kaidah mengenai hubungan manusia dengan sesame manusia
manusia. Pendek kata, dimensi sosial keagamaan adalah aspek social yang
mengandung unsure keagamaan. Agar pembahasan sistematis, lebih dulu akan
dipaparkan realitan social budaya Indonesia, kemudian dianalisis hubunganya
dengan makna dimensi social keagamaan KP.
Menurut
Huntington setidak-tidaknya ada tiga penyebab utama mengapa modernisasi
menyuburkan korupsi. Tiga penyebab itu adalah : Pertama, modernisasi menawarkan nilai-nilai baru yang lebih
rasional ketimbang nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tradisional. Kedua, dengan dibukanya sector
industry, salah satu elemen pokok modernisasi dan ditambah masuknya modal
asing, maka munculah sumber-sumber kekayaan baru. Ketiga, modernisasi melahirkan korupsi karena terjadinya perubahan
system politik, terutama Negara yang baru saja merdeka.
Berdasarkan
analisis makna dimensi sosial keagamaan dalam KP yang dipaparkan di atas tampaknya bahwa sosial muncul dalam
berbagai peristiwa dan tersebar dalam jalinan cerita, terkait dengan
penghayatan keagamaan para tokohnya. Tegasnya, aspek sosial lebih berperan
sebagai latar cerita guna mendukung gagasan utama KP. Fenomena sosial yang diungkapkan dalam KP mengandung dimensi sosial keagamaan. Fakta ini memperkuat dugaan
bahwa KP mengandung dimensi sosial
keagamaan yang penting untuk dikaji guna menambah kekayaan batin pembaca.
STRUKTUR
NOVEL
KELUARGA
PERMANA
Disadari bahwa dimensi
sosial keagamaan di dalam KP
merupakan bagian dari struktur yang mempunyai fungsi dalam pembentukan cerita.
Dalam analisis struktur digunakan teori structural dinamik Lucien Goldman.
Teori ini berpandangan bahwa dalam mengungkapkan wujud bangunan karya, struktur
KP bertegangan dengan pengarang,
kesemestaan (universe), dan pembaca.
Dengan kata lain, dalam pengungkapan struktur KP akan diartikan dengan proses penciptaan dan proses pembacaan.
Hawkes (1978: 18)
menyatakan, bahwa tiap-tiap unsur cerita, termasuk dalam hal ini dimensi sosial
keagamaan dalam KP, tidak dapat
bermakna sendiri atau berdiri sendiri di dalam cerita. Yang penting dalam
analisis struktur ini adalah bagaimana berbagai gejala itu memberikan sumbangan
kepada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinan unsur-unsurnya.
Oleh karena itu,
berikut akan dianalisis struktur KP
dalam hal ini struktur naratif, penokohan, dan latar. Pemilihan ketiga unsure
itu berasalan, mengingat ketiga unsure itu berkaitan langsung dengan tujuan
penelitian dan diduga dimensi sosial keagamaan dalam KP tampak dominan dalam ketiga unsure tersebut.
A.
Struktur
Naratif
Sebagai
sebuah karya sastra, novel merupakan satu system yang berstruktur. Sebagai
system yang berstruktur, novel memiliki unsur struktur naratif. Struktur
naratif menurut Chamamah-Soeratno (1991: 1-3), merupakan perwujudan bentuk
penyajian suatu atau beberapa peristiwa sedangkan naratif dapat diartikan
sebagai rangkaian peristiwa yang menjadi pokok pembicaraan dalam wacana dengan
berbagai relasi yang mengaitkan peristiwa.
Di
dalam struktur naratif terdapat dua hal yakni cerita (story atau content) dan
wacana (discourse atau expression). Struktur naratif merupakan
penana (signifie) dari peristiwa,
penokohan dan latar yang terdapat di dalam cerita dan petanda (significant) dari unsur-unsur di dalam
ekspresi naratif yang terdapat di dalam wacana. Dengan demikian objek estetik
naratif ialah cerita dari artikulasi wacana (Chatman, 1978: 15-42). Tujuan
analisis struktur naratif dengan demikian adalah untuk memperoleh susunan teks
baik susunan wacana (discourse)
maupun susunan cerita (story). Untuk
itu analisis sekuen (sequence) perlu
dilakukan guna mengungkapkan struktur naratif.
Langkah
pertama untuk itu adalah dengan menentukan satuan-satuan cerita dan fungsinya.
Menurut Barthes, hubungan sintagmatik adalah hubungan yang berdasarkan
kehadiran bersama (in praesentia).
Hubungan itu didasari oleh dua atau sejumlah istilah yang bersama-sama hadir
dalam suatu seri efektif. Sebaliknya, hubungan paradigmatik menyatukan
istilah-istilah yang tidak hadir (in
absentia) di dalam ingatan sebagai suatu rangkaian kemungkinan. Analisis
sitagmatik digunakan untuk menelaah struktur, sedangkan analisis paradigmatic
digunakan untuk menelaah hubungan antara unsur yang hadir dan tak hadir dalam
teks, yaitu hubungan makna dan simbol (Zaimar, 1991: 34).
Criteria
sekuen yang dikemukakan Schmitt dan A. viala (dalam Zaimar 1991: 33) sebagai
berikut:
(1) Sekuen
haruslah terpusat pada satu titik perhatian (atau fokalisasi), yang diamati
merupakan objek yang tunggal dan yang sama: peristiwa yang sama tokoh yang
sama, gagasan yang sama, bidang pemikiran yang sama.
(2) Sekuen
harus mengurung suatu kurun waktu dan ruang yang koheren: sesuatu terjadi pada
suatu tempat atau waktu tertentu. Dapat juga merupakan gabungan dari beberapa
tempat dan waktu yang tercakup dalam satu tahapan. Misalnya satu periode dalam
kehidupan seorang tokoh atau serangkaian contoh atau pembuktian untuk mendukung
satu gagasan.
Analisis struktur naratif KP akan dibagi menjadi dua bagian,
yakni: (1) urutan tekstual dan (2) urutan kronologis.
B.
Urutan
Tesktual
Sebagai
langkah awal dalam analisis struktur naratif, akan dianalisis urutan tekstual
satuan cerita. Teks KP terdiri atas
24 bab, dan tiap bab tidak diberi judul. Urutan tekstual ini menunjukkan
pemilahan teks dalam sekuen yang ditandai dengan angka Arab. Kadang-kadang
sekuen masih dibagi lagi dalam satuan yang lebih kecil. Karena itu angka
tandanya menjadi dua, tiga atau lebih.
Secara
tekstual KP terdiri atas 24 bab.
Namun setelah dilakukan analisis sekuen berdasarkan unit naratif sebagaimana
tersebut di atas, dapat diperoleh sekuen wacana yang lain.
Urutan
wacana merupakan urutan sekuen-sekuen yang memperlihatkan fakta-fakta dalam
teks, urutan seperti yang ada dalam teks. Urutan wacana ini bermakna bagi teks,
sebab jika urutan factual dalam teks ini diubah, maka maknanya juga akan
berubah. Oleh karena itu urutan wacana itu penting dalam pemaknaan KP. Adapun urutan wacana dalam KP adalah sebagai berikut:
I.
Meninggalnya Ida
II.
Persiapan upacara pemakaman jenazah Ida
III.
Permana dan Saleha mengenang kehidupan
Ida ketika remaja
IV.
Kehidupan remaja Ida yang menderita
akibat kekejaman Permana
V.
Permana sering bertindak kejam kepada
istri dan anaknya
VI.
Permana kecewa dan menyeali nasibnya
yang sial
VII.
Sumarto menumpang (indekos) di rumah Permana
VIII.
Sumarto menjalin cinta dengan Ida
IX.
Ida mulai jatuh cinta kepada Sumarto
X.
Sumarto dan Ida mulai berani berhubungan
cukup jauh
XI.
Permana curiga atas hubungan intim
Sumarto dengan Ida
XII.
Permana mengusir Sumarto (dengan halus)
dari rumahnya
XIII.
Ida hamil hasil hubungannya dengan
Sumarto
XIV.
Permana dan Saleha sedih mengetahui Ida
hamil pranikah
XV.
Permana dan Saleha sepakat untuk
menggugurkan kandungan Ida
XVI.
Kandungan Ida gugur akibat minum cairan
dari dukun
XVII. Ida
mengalami komplikasi sehingga kandungannya dioperasi
XVIII. Sumarto
menyesal Ida hamil akibat perbuatannya
XIX.
Pastor Murdiono menyarankan Sumarto
segera mengawini Ida
XX.
Sumarto mencari tahu keadaan Ida
XXI.
Sumarto mengancam perbuatan Permana
lewat surat kaleng
XXII. Ida
sangat lemah fisik dan psikis setelah dioperasi
XXIII. Permana
merasa lega setelah Ida keluar dari rumah sakit
XXIV. Sumarto
menemui Ida dan berniat untuk mengawininya
XXV. Ida
ingin segera kawin dengan Sumarto
XXVI. Permana
dengan berat hati menyetujui perkawinan mereka
XXVII.Ida
dibaptis menjadi Katolik sebagai syarat perkawinannya
XXVIII. Perkawinan
Ida-Sumarto (Katolik) menimbulkan konflik
XXIX.
Mang Ibraim marah dan kecewa melihat
perkawinan itu
XXX.
Ida dan Sumarto meninggalkan rumah
Permana ke Jatiwangi
XXXI.
Upacara pemakaman jenazah Ida secara
Katolik
XXXII. Saifuddin
berusaha menenangkan Saleha mengenai nasib Ida
XXXIII. Permana
stress berat dan akhirnya terganggu
jiwanya, gila.
Melalui analisis dapat ditemukan bahwa
sekuen, (selanjutnya disebut S-I, S-II dan seterusnya) yang satu dengan yang
lain ternyata saling berkaitan membentuk satu kesatuan wacana yang bulat. Hal
ini berarti bahwa jalinan cerita KP
terpadu dengan baik, tidak tersendat-sendat. Terlihat dalam daftar sekuen di
atas, bahwa meskipun KP secara
tekstual terdiri atas 24 bab, setelah dilakukan analisis sekuen berdasarkan
unit naratif, ternyata ditemukan 33 sekuen. Secara garis besar urutan sekuen
memperlihatkan bahwa urutan wacana KP
terbagi dalam dua kategori waktu, yakni masa kini dan masa lampau. S-I, S-II,
S-III dan S-XXXI/XXXII/XXXIII merangkai kategori waktu masa kini, sedangkan
S-IV sampai dengan S-XXX merangkai kategori waktu masa lampau.
C.
Urutan
Kronologis
Dapat
dilihat teks KP terdiri atas 24 bab.
Bab satu dengan yang lain tidak diberi judul, melainkan masing-masing diberi
angka. Urutan wacana itu, dalam kaitannya dengan urutan kronologis memisahkan
antara waktu masa kini dengan masa lalu. Urutan kronologis diperoleh setelah
ditentukan sekuen. Serangkaian sekuan itu menunjukkan bahwa urutan wacana
mendukung penentuan urutan kronologis, keduanya sangat berkaitan erat. Lewat
urutan wacana tersebut dapat diidentifikasikan urutan kronologis sebagai
berikut.
1. Ida
remaja sering mendapat perlakuan kejam Permana (S-IV)
2. Permana
sering bertindak kejam terhadap Saleha dan Ida (S-V)
3. Permana
menyesali nasibnya yang sial (S-VI)
4. Sumarto
menumpang (indekos) di rumah Permana (S-VII)
5. Sumarto
menebarkan benih cinta kepada Ida (S-VIII)
6. Ida
mulai jatuh cinta kepada Sumarto (S-IX)
7. Sumarto
mulai menggauli Ida (S-X)
8. Permana
curiga atas keintiman Sumarto dengan Ida (S-XI)
9. Permana
mengusir Sumarto (dengan halus) dari rumahnya (S-XII)
10. Ida
hamil buah hubungannya dengan Sumarto (S-XIII)
11. Saleha
dan Permana sedih mengetahui Ida hamil (S-XIV)
12. Permana
dan Saleha sepakat menggugurkan kandungan Ida (S-XV)
13. Kandungan
Ida gugur oleh ramuan dukun (S-XVI)
14. Ida
dioperasi kandungannya di rumah sakit (S-XVII)
15. Sumarto
menyesali perbuatannya menghamili Ida (S-XVIII)
16. Pastor
Mordiono menyarankan Sumarto untuk mengawini Ida (S-XIX)
17. Sumarto
mencari tahu keadaan Ida (S-XX)
18. Sumarto
mengancam Permana dengan surat kaleng (S-XXI)
19. Kondisi
Ida sangat lemah setelah dioperasi (S-XXII)
20. Permana
merasa lega setelah Ida keluar dari rumah sakit (S-XXIII)
21. Sumarto
menemui Ida dan akan mengawininya (S-XXIV)
22. Ida
ingin segera kawin dengan Sumarto (S-XXV)
23. Permana
dengan berat menyetujui Ida kawin dengan Sumarto (S-XXVI)
24. Ida
dibaptis menjadi Katolik dengan perasaan terpaksa (S-XXVII)
25. Perkawinan
Ida dengan Sumarto secara Katolik menimbulkan konflik (S-XXVIII)
26. Mang
Ibrahim marah merasa kehilangan cucunya yang kini menjadi Katolik (S-XXIX)
27. Ida
dan Sumarto meninggalkan rumah Permana menuju Jatiwangi (S-XXX)
28. Ida
meninggal dunia (SI)
29. Persiapan
pemakaman jenazah Ida (S-II)
30. Permana
terkenang akan kehidupan masa lalu Ida (S-III)
31. Pemakaman
jenazah Ida secara Katolik (S-XXXI)
32. Saifuddin
berusaha menenangkan Saleha mengenai nasib Ida di akhirat (S-XXXII)
33. Permana
mengalami stress berat dan terganggu jiwanya (S-XXXIII)
Ke-33 sekuen itu tergolong ke dalam tiga komponen
sekuen yakni (1) komponen sekuen yang menandai sorot balik penuh, (2) komponen
sekuen yang menandai sorot balik tidak penuh, dan (3) komponen sekuen yang
tidak mengandung sorot balik.
Hubungan sekuen-sekuen masa kini dengan masa lalu
terjadi melalui ingatan, kenangan akan kesedihan, penyesalan dan sebagainya.
Berdasarkan urutan kronologis wacana dapat ditemukan urutan logis. Urutan logis
merupakan hubungan antarsekuen yang didasarkan pada peristiwa kausalitas atau
sebab akibat.
D.
Penokohan
Kehadiran tokoh
dalam suatu cerita dapat dilihat dari berbagai cara, yang secara garis besar
dapat dibagi dalam tiga cara antara lain: (1) Cara analitis, yakni pengarang
secara langsung menjelaskan dan melukiskan tokoh-tokohnya, (2) Cara dramatic,
yakni pengarang melukiskan tokoh-tokohnya melalui gambaran tempat dan
lingkungan tokoh, dialog antartokoh, perbuatan dan jalan pikiran tokoh, dan (3)
Kombinasi keduanya (Saad dalam Ali, 1986: 123-124).
Penamaan
tokoh (naming) menurut Wellek dan
Warren (1980: 287) merupaan cara paling sederhana untuk menampilkan tokoh.
Penamaan tokoh dapat juga berupa simbol, profesi dan pekerjaannya.
Tokoh
merupakan bagian atau unsur dari suatu
keutuhan artistic yakni karya sastra, yang seharusnya selalu menunjang keutuhan
artistic itu (Kenney, 1986: 25). Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peran
sentral dalam cerita, menjadi pusat sorotan di dalam kisahan, dan yang pentin
mempunyai intensitas keterlibatan yang tinggi dalam peristiwa-peristiwa yang
membangun cerita. Adapun tokoh bawahan adalah tokoh yang kedudukannya tidak sentral
dalam cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama.
1. Farida
(Ida)
Pertama
adalah tokoh utama Farida atau Ida. Ida disebut tokoh utama bukan semata-mata
Ida adalah anak keluarga Permana yang menjadi judul novel ini, melainkan karena
fungsi sentralnya dalam keseluruhan struktur KP. Ida menjadi pusat sorotan dan penggerak seluruh cerita. Itu
sebabnya KP dimulai dengan kematian
Ida sehingga seluruh cerita berjalan dengan sorot balik (flash back). Kematian Ida itu merupakan titik sentral dari seluruh
teka-teki berbagai peristiwa dalam KP.
Nama Farida memberikan gambaran kepada pembaca bahwa Ida adalah remaja
Indonesia yang majemuk. Nama ini juga beperan mewakili gadis Indonesia pada
umumnya.
2. Sumarto
Tokoh
kedua KP adalah Sumarto. Dalam KP
sesuai dengan perannya, deskripsi psikologisnya cukup banyak dilakkan. Dari
namanya, Sumarto telah membayangkan asalnya dari Jawa, tepatnya Yogyakarta.
Adapun yang mencolok dari tokoh ini adalah keramahan dan sopan santunnya. Sikap
dan kepribadiannya yang menarik membuat Permana cepat simpati kepadanya dan
tanpa banyak pertimbangan menerimanya menumpang (indekos) di rumahnya.
3. Permana
Tokoh
KP yang juga berperan langsung terhadap jalan cerita KP adalah Permana. Deskripsi psikologis tokoh ini cukup menonjol.
Permana kecewa berat ketika dia diberhentikan dari pekerjaannya karena tuduhan
korupsi. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah bahwa atasannyalah yang
benar-benar melakukan korupsi. Ia kecewa berat karena merasa diperlakukan tidak
adil, dijadikan korban sebagai tertuduh pelaku korupsi. Inginnya ia protes
tetapi ia tidak berdaya melawan orang besar, terhadang birokrasi. Ia frustasi
terhadap lingkungannya.
Di
balik karakternya yang keras dan kejam itu sebenarnya tersembunyi kasih sayang,
rasa tanggung jawab yang besar terhadap anaknya, bahkan sikap bijaksana.
Uniknya, selain keras, Permana juga orang yang realistis dan dapat juga
bersikap sabar.
4. Saleha
(Eha)
Tokoh
lain yang berperan dalam KP adalah
Saleha (Eha). Tak jauhg berbeda dengan Permana, deskripsi fisik Saleha tidak
pernah dinyatakan sama sekali. Melihat kedudukan dia sebagai istri Permana,
maka dapat diduga bahwa Saleha hamper sebaya dengan Permana yakni mendekati
setengah baya. Kehadiran tokoh ini penting untuk mendampingi Permana. Melalui
sikap dan perilakunya, tokoh ini perannya cukup penting dalam menggerakkan
berbagai peristiwa dalam KP.
Digugurkannya kandungan Ida melalui dukun adalah usul Saleha. Dari pengguguran
ini cerita lalu bergerak naik mendekati puncaknya.
Kesetiaan,
ketaatan dan kepatuhan Eha dapat menyejukkan hati Permana saat menghadapi
berbagai persoalan keluarga. Kesabaran Eha sering meruntuhkan kekerasan dan
kekejaman Permana. Meskipun sabar dan tabah, Eha dapat bersikap tegas dalam
membela kebenaran.
5. Mang
Ibrahim
Tokoh
yang kontroverial dalam KP adalah
Mang Ibrahim. Tokoh ini mempunyai peran penting dalam mengangkat tema cerita
lewat kepribadiannya yang teguh, keras, dan pandangan agamanya yang radikal.
Yang menonjol dari kehadiran Mang Ibrahim adalah deskripsi lingkungan sosialnya.
Selaras dengan namanya Ibrahim – salah satu nama Rasul (Utusan) Allah, Ibrahim
a.s. ayah Nabi Ismail a.s. – dia dilukiskan sebagai tokoh tua yang taat
beragama, berpandangan Islam radikal, bergaris keras, dan tegas dalam prinsip
agama. Ibrahim mewakili tokoh agama
dalam masyarakat yang beraliran ekstrem dalam masalah-masalah prinsipial agama
yang tidak dapat ditoleransi. Karena itu kadang-kadang dia terkesan kurang
keislaman dan kemanusiaannya. Justru itulah yang menarik dari Ibrahim dalam KP sebagai suatu fenomena yang
juga sering terdapat dalam realitas sosial.
6. Saifuddin
Begitu
pula dengan Saifuddin. Kehadiran tokoh ini sebagai tokoh pendamping Mang
Ibrahim. Secara fisik tokoh ini juga sama sekali tak disebutkan dalam teks.
Mengingat dia adalah keponakan Saleha maka dapat dipahami, bahwa Saifuddin
adalah tokoh yang lebih muda daripada Permana atau Saleha. Karena perannya
dalam KP sebagai “pasangan” Mang
Ibrahim dalam hal-hal mengungkap dimensi sosial keagamaan, maka kemudaan tokoh
itu agaknya untuk memberikan kontras dengan pengetahuan keagamaannya yang cukup
“tua’. Justru dengan usianya yang masih muda itu Saifuddin digunakan untuk
menunjukkan, bahwa dalam hal ilmu pengetahuan termasuk ilmu dan wawasan agama
(Islam), usia tidak merupakan patokan. Usia tua tidak mejadi jaminan dalam hal
keluasan pandangan agama.
Berbeda
dengan Ibrahim yang ditampilkan sebagai tokoh pemuka Islam yang radikal,
Saifuddin dihadirkan sebagai tokoh yang memiliki pandangan Islam yang luas dan
bijaksana. Keluasan wawasannya ini membuat Saifuddin sering berbeda pandangan
dengan Ibrahim mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah dan praktik
keagamaan.
7. Pastur
Murdiono
Tokoh
yang juga berperan penting dalam pengembangan cerita KP adalah pastor Murdiono. Jika Ibrahim dan Saifuddin merupakan dua
tokokh pemuka agama Islam yang memiliki pengaruh di masyaraka, maka Murdiono
merupakan tokoh dari kalangan Katolik. Dengan demikian tokoh ini memegang
fungsi penting dalam mengembangkan peristiwa yang berkaitan dengan segi-segi
sosial keagamaan khususnya dari agama Katolik. Lewat tokoh-tokoh Ibrahim,
Saifuddin dan Murdiono inilah masalah pokok dalam KP yakni dimensi sosial keagamaan tampak mencuat.
Disamping
tokoh-tokoh tersebut, beberapa tokoh lain yang tidak dibicarakan seperti Nenek
Tati, Nenek Lengkong, Surono, Sutarmi, Komariah, Kuraesin dan dr. Sudomo
dipandang sebagai tokoh bawahan yang tidak berperan langsung dalam mempengaruhi
kehidupan tokoh utama. Artinya, mereka tidak besar fungsinya dalam pengembangan
jalan cerita KP.
E.
Latar
Moody (1972: 48)
mengartikan latar sebagai tempat, sejarah, sosial, kadang-kadang pengalaman
politik atau latar belakang cerita itu terjadi. Menurut Parkamin dan Bari
(1973: 62) latar adalah penempatan mengenai waktu dan tempat termasuk
lingkungannya. Fungsi utama latar adalah memberikan suasana (mood) pada cerita.
F.
Unsur
Ruang
Unsur
ruang dapat ditangkap pembaca melalui tiga cara, yakni: (1) pemakaian kata-kata
yang mewujudkan sifat atau keadaan yang disebut, (2) kata-kata yang telah
mempunyai pengertian tersendiri yang sudah baku, dan (3) pemakaian
perbandingan. Ketiga cara itu terbentuk dalam wacana yang kecil. Pada wacana
yang lebih besar unsur ruang dapat dilihat melalui (1) penunjukan arah suatu
tempat tertenu, (2) dialog yang melukiskan perilaku tokoh, dan (3) deskripsi
langsung oleh pengarang (Chatman, 1978: 101-103).
G.
Unsur
Waktu
Dalam
novel, aspek waktu pada umumnya meliputi lama berlangsungnya cerita dan
penyebutan waktu secara eksplisit tertulis atau implicit dalam cerita. Secara
garis besar ada dua periode waktu dalam KP
yakni masa kini dan masa lalu. Latar waktu masa kini dalam KP dimulai sejak awal cerita yakni ketika Ia meninggal dunia hingga
jenazahnya dimakamkan dan Permana kehilangan kewarasannya. Selebihnya adalah
periode masa lalu. Setelah Ida meninggal cerita berjalan secara sorot balik (flash back) yakni sejak Ida remaja
hingga Ida kawin dengan Sumarto, bahkan ditarik ke belakang lagi dengan masa
lalu Permana ketika masih bekerja hingga dibehentikan dari pekerjaan.
H.
Unsur
Sosial
Persoalan pokok KP
adalah dimensi sosial keagamaan khususnya benturan sosial dalam kehidupan
antarumat beragama. Tokoh-tokohnya berlainan agama. Mengamati latar sosial
dalam KP, maka makin tampaklah bahwa
pengarangnya adalah sastrawan sekaligus pengamat sosial yang jeli memandang
fenomena sosial yang berkembang dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.
Latar itu makin menegaskan bahwa sejak awal hingga
akhir cerita, dimensi sosial keagamaan khususnya perpindahan agama yang
menimbulkan konflik dan benturan sosial dalam perikehidupan antar-umat beragama
menjadi alur dalam KP.
1.
Kelebihan
Dan Kekurangan Buku
1. Keunggulan.
*
Memberikan pesan moral bagi siapa saja
yang membacanya.
*
Mengangkat suatu realitas kehidupan
manusia.
*
Dapat dijadikan sebagai pambelajaran
suatu kehidupan bagi pembaca.
2. Kelemahan.
*
Menurut saya dalam penggunaan bahasa yang
digunakan sulit untuk dipahami.
*
Pembahasan isi buku trlalu bertele-tele
dan kurang singkat.
2.
Kritik
Dan Saran
1. Kritik :
Sebagai buku yang fenomenal seharusnya buku ini dibuat semenarik
mungkin dan bahasa yang mudah untuk dipahami pembaca.
2. Saran :
Sebagai buku yang fenomenal seharusnya buku ini dibuat lebih
menarik dan dengan bahasa yang mudah dipahami pula. Hal ini ditujukan untuk
lebih menarik lagi untuk dibaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar