Selasa, 22 Mei 2012

DIMENSI SOSIAL KEAGAMAAN DALAM FIKSI INDONESIA MODERN


DIMENSI SOSIAL KEAGAMAAN DALAM FIKSI INDONESIA MODERN
1.      Identitas Buku            :
a)      Judul                           : Dimensi Sosial Keagamaan Dalam Fiksi Indonesia Modern
b)      Tebal buku                  :1 cm
c)      Jumlah halaman           :230 halaman
d)     Panjang                       :19,5 cm
e)      Lebar                           :14,5 cm
f)       Warna  Sampul            :Merah
BAB 1
DIMENSI SOSIAL KEAGAMAAN DALAM NOVEL KELUARGA PERMANA

            Dimensi sosial keagamaan merupakan salah satu benang merah yang menonjol dalam KP. Dalam analisis struktur pada bab III terdapat lima titik dasar dimulainya keseluruhan yang struktur naratif KP yakni S-1, S-3,S-4, S-21 dan S-28. Yaitu pada S-1 ( masa remaja ida), S-3 ( latar belakang kejadian),S-4 ( kehadiran Suwarto menumapang indekos di rumah Permana dan kehamilan Ida), S-21 ( Keinginan Suwarto mengawini Ida dengan ‘menekan’ Ida agar  pindah agama dan S-28 (Ida meninggal).
            Timbulnya konflik keagamaan tersebut dilatar belakangi oleh adanya proses sosial pada para tokoh yakni yang menyangkut hubungan sosial dengan ekonomi, hubungan ekonomi dengan moral, keluarga dengan agama, dan sebagainya. Jadi dapat disumpulkan bahwa agama (religi) adalah : (1) sistem credo ( tat keimanan atau keyakinan) atas adanya sesuatau yang mutlak di luar manusia; (2) ritus atau tata peribadatan, yakni tata aturan yang dari pencipytauntuk dijalankan oleh ciptaanya; (3) norma ( tata kaidah atau aturan) yang menghubungkan manusia dengan manusia dengan alam lainya sesuai dengan tata keimanan dan tata peribadatan seperti termaktup di atas di atas ( Anshari, 1976: 32-33).
      Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa keagamaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan tata keimanan, tata peradatan terhadap tuhan dan tata peradapatan hungan manusia dengan sesama manusia dan alam. Bertolak pada batasan-batasan di atas dapat dirumuskan bahwa dimensi keagamaan adalah segala macam norma yang menggenai gejala sosial dalam hubunga timbal balik dalam kehidupan kemasyarakatan.

4.1 Dimensi sosial Keagamaan Dalam Kleluarga Permana.
Masalah perpindahan agama yamg merupakan masalah besar dalam Indonesia yang religius, kolektif dan komunal sifatnya. Perpindahan agama dengan berbagai efek dan konflik sosial yang belum banyak dikemukakan. Pedoman Dasar Kerukunan Beragama   ( Departemen Agama) tidak sulit mengasosiasikan keduanya. Pedoman itu berisi pokok-pokok kebijaksanaan pemerintah RI mengenai kerukurana umat beragama yakni: (1) Kerukunan intern umat Bergama, (2) Kerukunan atar umat beragama dan Kerukunan umat beragama denga pemerintah.
 4.1.1 Perpindahan Agama Sebagai Sumber Konflik Sosial.
Perpindahan agama yaitu perpindahan agama seseorang dari agama satu ke agama yang lainya( Ratuperwiranegara, dalam Departeman Agama) dapat menyingung perasaan kelompok agamanya atau lingkungan masyarakat. Lebih-lebih jiki perpindahan agama tersebut dinilai oleh lingkunganya sebagai sesuatu yang tidak wajar, karewna bujukan, rayuan , damn pemberian materi, cara-cara penyiaran agama dengan masuk ke luar rumah  ke rumah orang lain yang telah memeluk agama lain dan sebagainya. Nilai-nilai peristiwa perpindahan agama dalam KP dapat dikelompokan dalam beberapa bagian sebagai berikut :
    4.1.1.1  Percampuran Perkawinan Islam Katolik
 Masalah pertama yang muncul menjadi sorotan tajam dalam KP  adalah perkawinan campuran antara gadis islam dengan pemuda katolik. Bagaimana dan dengan alasan apapun perkawinan campuran, di dalam KP antara keluarga islam dengan katolik dalam masyarakat Indonesia yang dikenal religious ternyata sering menimbulkan aberbagai ketegangan dan konflik social. Perkawinan campuran dapat menimbulkan perlawanan sosial pada masyarakat. Perkawinan campuran dapat menciptakan benturan antar umat beragama dan konflik batin dalam diri yang bersangkutan dan keluarganya. Disilah nilai KP, yang didalamnya terdapat keseimbimbagan. Di Satu pihak tindakan penekanan yang dilakukan Sumarto jelas merupakan suatu pelangaran hak asasi manusia dalam hal kebebasan beragama yang sangat prinsipial.
Dipihak lain KP juga mengkritik orang tua yang kurang memperhatikan agama dalam kehidupan bkeluarga sehingga imanya mudah goyah menghadapi cobaan dan tantangan hidup ( dalam KP demi perkawinan dengan kekasihnya).  

4.1.1.2 Upacara Pembastisan.
Bagi orang yang sejak kecil menyakini agama tertentu sebagai pegangan hidup kemudian tiba-tiba ia harus mengalami pemutusan ikatan keimanan atau akidah, jelas tidak mudah menjalaninya. Lebih tepatnya dalam KP perpindahan agama yang secara formal ditandai dengan upacara pembastisan di gereja. Yang menarik dari peristiwa itu adalah timbulnya konflik batin bagi oran yang bersangkutan, meskipun ia mencoba melawanya.
4.1.1.3 Upacara Pemakaman  Jenasah Yang Meresahkan
Suatu nilai sosial kegamaan yang juga menarik diungkapkan oleh KP yang berkaitan dengan masalah perpindahan agama adalah konflik sosial dan konflik batin para tokoh yang terjadi disekitar upacara pemakaman jenasah. Konflik sosial sudah mulai timbul sejak dirumah sakit ketika seorang perawat untuk menuntut Ida membaca kalimat syahadat.
Efek atau dampak dari perpindahan beragama teryata tidak kecil.Perpindahan beragama menimbulkan konflik batin yang dasyat bagi yang bersangkutan (Ida) dan orang tuanya, juga sanak keluarhganya, serta yang lebih berbahaya operistiwa itu dapat mengandung konflik sosial masnyarakat lingkunganya.
4.1.2  Pengembagan Agama pada Umat Beragama
Pengembangan agama yang dilakukan oleh agama tertentu kepada umat beragama yang lain disoroti dengan tajam. Pengembagan agama pada umat beragama akan menimbulkan gejolak dan benturan-benturan social karena dapat menyingung perasaan keagamaan masyarakat lingkunganya ( Departemant Agama, 1987/1984: 37). Pengembagan tidak dibenarkan ditujukan kepada umat  atau kalangan masyarakat yang sudah beragama,  seperti diatur dalam pedoman dasar kerukunan um at beragama (Departemant Agama, 1979; 1983/1984 ).\
4.1.3 Krisis Ketakwaan Sebagai Sumber Masalah Sosial
Nilai yang tak kalah pentingnya dalam KP, adalah krisis ketakwaan sebagai sumber terjadinya masalah sosial dalam kehipan msyarakat kurangya penghayatan agama para tokoh, menimbulkan berbagai maslah sosial dalam proses dan interaksi sosialnya. Lebih tepatnya krisis ketakwaan tokoh permana, Ida, dan sumarto, menyebabkan terjadinya perilaku yang melangar hukum, nilai moral dan agama.

4.1.3.1 Korupsi dan Memperkaya Diri
Masalah pertama yang disoroti KP kaitanya  dengan adanya gejala krisis ketakwaan adalah korupsi. Korupsi disoroti sebagi perbuatan criminal dan penyakit masyarakat teruitama yang melanda pada pejuang revolusi yan lmerupakan tokoh atau pemuka masyarakat terhormat. Korupsi merupkan jalan pintas yang dilakukan oleh orang tertentu ang ingin mem,enuhi ambisi materialnya pada zaman modern ini akibatnya terjadilah pengambilan jalan pintas untuk ,memenuhi ambisi materialnya degan berbagai cara seperti perampokan, perampasan, korupsi, dan sebagainya.
4. 1. 3. 2 Penyalahgnaan Jabatan
Bentuk lain gejala krisis ketakawaan para tokoh adalah penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan. Implikasinya adalah penyelewengan hukum. Dengan memanfaatkan kekuasaanya orang tidak segan –segan melangar peraturan hukum. Dalam KP hal ini dilukiskan melai Permana, atasan dan rekan-rekanya, serta tokoh lainya.
4. 1. 3. 3 Dekadensi Moral Remaja dan Kawin Paksa Versi Modern
Nilai lain dari krisis ketakwaan para tokoh adalah adanya gejala dekadensi moral dan kawin ‘paksa’ versi modern dikalangan remaja. Dalam KP yang berkaiatan satu dengan yang lain itu di gugat Ramadhan dengan warna baru. Artinya, dekadensi moral dan kawin paksa versi modern yang dideskripsikan melalui tokoh Ida dan suwarto itu terjadi bukan semata-mata dilihat dari prespektif sosilogis  melaikan juga disoroti dari moral dan agama.
Gagasan lain yang dapat diambil dari dekadensi moral yang berkaitan dengan zina adalah aborsi, yang dewasa ini semakin banyak dilakukan orang sebagai jalan pintas untuk tujuan tertentu, dalam KP menghilangkan aib. Orang sering lupa bahwa aborsi selain menimbulkan effek yang berbahaya bagi sipelaku baik dari segi fisik maupun psikis, disamping  dilarang oleh agama dan hokum perdata, karena dapat dipandang sebagai tindakan pembunuhan (Sahli, Tanpa Tahun : 63). Dari segi kesehatan fisi aborsi dapat menimbulkan pendarahan sehingga wajahnya tampak pucat lesi dan badan kelihatan layu. Adapun dari segi psikis aborsi dapat menimbulkan perasaan rendah diri, karena si pelaku merasa kehilangan buah cinta yang disayangkan, bahkan juga kehilangan kehormatannya.
Terkait erat dengan dekadensi moral sebagai gejala adanya krisis ketaqwaan para tokoh, suatu hal baru dalam KP adalah adanya kasus kawin ‘paksa’ di kalangan masyarakat modern. Mengapa baru ? Pada zaman dulu hingga awal abad ke-20, banyak rumah tangga berdiri di atas galangan kawin paksa. Artinya, pengantin perempuan oleh orang tuanya dikawinkan secara paksa dengan laki-laki yang mungkin tak dikenalnya, lebih-lebih dicintainya dengan alasan apapun. Begitu pula sebaliknya, banyak pemuda oleh orang tuanya dipaksa mengawini seorang gadis yang sama sekali tak dicintainya.
4.1.4 Zina dan Aborsi : Fenomena Pelanggaran Etika Sosial dan Agama
Gagasan dalam KP juga terlihat dalam peristiwa perzinaan (hubungan seks pranikah) dan aborsi (pengguguran kandungan). Aborsi sering tidak terlepas dari perzinaan. Dalam KP aborsi dilakukan karena adanya hubungan pranikah, meskipun dalam realitas social aborsi sering juga dilakukan oleh wanita bersuami. Yang jelas biasanya aborsi dilakukan karena janin atau calon bayi yang dikandung tidak atau belum dikehendaki.
Dewasa ini perbuatan zina tampaknya mulai dianggap sebagai hal yang biasa, bukan lagi perbuatan yang hina atau memalukan. Indikasinya adalah pezina tidak lagi merasa bersalah atas perbuatanya itu. Padahal agama melarang keras dan mengutuk perzinaan sebagai “perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan” (QS.Al-Isra :32), dan mengancam para pezina dengan hukuman berat. Pezina yang belum kawin diancam dengan hukuman cambuk seratus kali, sedangkan pezina yang sudah kawin(zina mukhsar), dihukum rajam atau dicambuk hingga mati, dengan disaksikan oleh orang banyak. Aborsi merupakan perbuatan amoral yang melanggar tata susila, norma sosial, hukum dan agama.
4.1.5 Peran Agama dalam Rumah Tangga dan Perilaku Anak
Agama memiliki peran besar di dalam kehidupan rumah tangga dan membentuk perilaku anak. Seperti diketahui, bahwa unsur terpenting yang menjadi pengendali dan penentram dalam kepribadian manusia adalah agama. Oleh karena itu, moral, kepribadian dan kesehatan jiwa tidak dapat dipisahkan dari agama (Daradiat, 1993 :39).
Peran agama dalam keluarga dan lebih-lebih dalam pembinaan perilaku anak begitu besar. Artinya, pengaruh agama terhadap kesehatan jiwa dan kepribadian seseorang baik dalam rumah tangga pertumbuhan maupun pembinaanya sangat penting. Dikatakan oleh Daradjat (993 :40), bahwa agama bertolak dari keimanan kepada Tuhan. Keimanan itu memberikan kelegaan dan ketentraman batin itu adalah pangkal kesehatan jiwa dan kepribadian yang kuat.
Dalam perspektif yang lebih luas, anak akan menjadi orang yang shalih (baik) dan berakhlak mulia (akhlaqul karimah), atau sebaliknya anak jahat dan akhlaknya tercela, bergantung pada peran orang tua dalam membentuk kepribadianya.
4.1.6 Iman sebagai Pengendali Diri
Dimensi social keagamaan yang substansial sifatnya yakni iman dikomunikasikan pula dalam KP. Nilai ini berkaitan dengan ketegaran dan ketenangan seseorang dalam menghadapi berbagai problema kehidupan karena hidup manusia memang penuh cobaan yang dating dari Tuhan, baik cobaan yang menyenangkan maupun cobaan yang menyedihkan (Q.S. Al-Ambiya :35, QS al-baqoroh :155,QS at-taghabun :15). Hanya imanlah yang dapat menjadi pengendari diri bagi manusia dalam benteng terhadap berbagai problema dan tantangan yang sering dating melanda manusia dalam kehidupanya.
4.1.7 Agama sebagai Pedoman Meraih Kebahagiaan
Nilai lain dalam KP yang menarik adalah pentingnya agama dalam kehidupan manusia.Berbagai peristiwa yang terjadi dalam KP yang dialami oleh para tokoh berkaitan dengan peran agama sebagai pegangan manusia dalam menempuh kehidupanya.
Taqwa didalam Islam dikenal sebagai landasan utama segala tingkah laku manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Tqwa, menurut Hadikusuma (1980 :19-20) berarti takut, maksudnya ialah meyakini bahwa Allah menguasai dan menentukan perjalanan hidup dan nasib manusia dengann sifat-Nya Yang Maha Pengasih, tetapi juga dengan siksa-Nya yang amat pedih bagi hamba-Nya yang berbuat kejahatan. Oleh karena itu orang yang bertaqwa sangat berhati-hati dalam segala tindakanya agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan jahat. Dengan taqwa itu manusia akan dapat menjaga dan mencapai kebahagiaan hidup seperti diisyaratkan oleh Allah dalam Q.S Al-baqoroh :197.
Dengan ringkas dapat dikatakan, bahwa taqwa yang berintikan iman dan mal shalih itu sangat diperlukan dalam hidup manusia, jika ingin hidup tentram sejahtera dan bahagia (QS.ar-Ra’d:28-29). Taqwa merupakan sebaik-sebaik bekal bagi manusia yang mau berfikir (QS. Al-baqoroh :197). Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa seluruh ajaran agama itu jika dilepas intinya tidak lain adalah taqwa. Kurangnya taqwa itu pula yang menyebabkan orang mementingkan keduniaan daripada agama atau takut kepada Allah. Akibat dari kurangnya penghayatan agama itulah yang membuat orang menjadi mudah keaewa, gelisah, jiwanya goncang, putus asa dan kehilangan akal sehatnya ketika tertimpa bencana atau musibah dalam hidupnya.
Berdasarkan analisis makna KP pada bab IV (4.1) terlihat bahwa gagasan yang berkaitan dengan dimensi social keagamaan merupakan pokok persoalan atau gagasan utama KP.
4.2 Realitas Sosial Budaya Indonesia 1970-an dan Keluarga Permana
Berikut ini adalah paparan makna dimensi social keagamaan dan teganganya dengan realitas social budaya Indonesia pada paroh kedua dejade 1950-an hingga paroh pertama decade 1970-an. Dimensi social keagamaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dimensi kemasyarakatan yang berkaitan dengan tata keimanan tata peribadatan dan tata kaidah mengenai hubungan manusia dengan sesame manusia manusia. Pendek kata, dimensi sosial keagamaan adalah aspek social yang mengandung unsure keagamaan. Agar pembahasan sistematis, lebih dulu akan dipaparkan realitan social budaya Indonesia, kemudian dianalisis hubunganya dengan makna dimensi social keagamaan KP.
Menurut Huntington setidak-tidaknya ada tiga penyebab utama mengapa modernisasi menyuburkan korupsi. Tiga penyebab itu adalah : Pertama, modernisasi menawarkan nilai-nilai baru yang lebih rasional ketimbang nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tradisional. Kedua, dengan dibukanya sector industry, salah satu elemen pokok modernisasi dan ditambah masuknya modal asing, maka munculah sumber-sumber kekayaan baru. Ketiga, modernisasi melahirkan korupsi karena terjadinya perubahan system politik, terutama Negara yang baru saja merdeka.
Berdasarkan analisis makna dimensi sosial keagamaan dalam KP yang dipaparkan di atas tampaknya bahwa sosial muncul dalam berbagai peristiwa dan tersebar dalam jalinan cerita, terkait dengan penghayatan keagamaan para tokohnya. Tegasnya, aspek sosial lebih berperan sebagai latar cerita guna mendukung gagasan utama KP. Fenomena sosial yang diungkapkan dalam KP mengandung dimensi sosial keagamaan. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa KP mengandung dimensi sosial keagamaan yang penting untuk dikaji guna menambah kekayaan batin pembaca.

STRUKTUR NOVEL
KELUARGA PERMANA

Disadari bahwa dimensi sosial keagamaan di dalam KP merupakan bagian dari struktur yang mempunyai fungsi dalam pembentukan cerita. Dalam analisis struktur digunakan teori structural dinamik Lucien Goldman. Teori ini berpandangan bahwa dalam mengungkapkan wujud bangunan karya, struktur KP bertegangan dengan pengarang, kesemestaan (universe), dan pembaca. Dengan kata lain, dalam pengungkapan struktur KP akan diartikan dengan proses penciptaan dan proses pembacaan.
Hawkes (1978: 18) menyatakan, bahwa tiap-tiap unsur cerita, termasuk dalam hal ini dimensi sosial keagamaan dalam KP, tidak dapat bermakna sendiri atau berdiri sendiri di dalam cerita. Yang penting dalam analisis struktur ini adalah bagaimana berbagai gejala itu memberikan sumbangan kepada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinan unsur-unsurnya.
Oleh karena itu, berikut akan dianalisis struktur KP dalam hal ini struktur naratif, penokohan, dan latar. Pemilihan ketiga unsure itu berasalan, mengingat ketiga unsure itu berkaitan langsung dengan tujuan penelitian dan diduga dimensi sosial keagamaan dalam KP tampak dominan dalam ketiga unsure tersebut.
A.    Struktur Naratif
Sebagai sebuah karya sastra, novel merupakan satu system yang berstruktur. Sebagai system yang berstruktur, novel memiliki unsur struktur naratif. Struktur naratif menurut Chamamah-Soeratno (1991: 1-3), merupakan perwujudan bentuk penyajian suatu atau beberapa peristiwa sedangkan naratif dapat diartikan sebagai rangkaian peristiwa yang menjadi pokok pembicaraan dalam wacana dengan berbagai relasi yang mengaitkan peristiwa.
Di dalam struktur naratif terdapat dua hal yakni cerita (story atau content) dan wacana (discourse atau expression). Struktur naratif merupakan penana (signifie) dari peristiwa, penokohan dan latar yang terdapat di dalam cerita dan petanda (significant) dari unsur-unsur di dalam ekspresi naratif yang terdapat di dalam wacana. Dengan demikian objek estetik naratif ialah cerita dari artikulasi wacana (Chatman, 1978: 15-42). Tujuan analisis struktur naratif dengan demikian adalah untuk memperoleh susunan teks baik susunan wacana (discourse) maupun susunan cerita (story). Untuk itu analisis sekuen (sequence) perlu dilakukan guna mengungkapkan struktur naratif.
Langkah pertama untuk itu adalah dengan menentukan satuan-satuan cerita dan fungsinya. Menurut Barthes, hubungan sintagmatik adalah hubungan yang berdasarkan kehadiran bersama (in praesentia). Hubungan itu didasari oleh dua atau sejumlah istilah yang bersama-sama hadir dalam suatu seri efektif. Sebaliknya, hubungan paradigmatik menyatukan istilah-istilah yang tidak hadir (in absentia) di dalam ingatan sebagai suatu rangkaian kemungkinan. Analisis sitagmatik digunakan untuk menelaah struktur, sedangkan analisis paradigmatic digunakan untuk menelaah hubungan antara unsur yang hadir dan tak hadir dalam teks, yaitu hubungan makna dan simbol (Zaimar, 1991: 34).
Criteria sekuen yang dikemukakan Schmitt dan A. viala (dalam Zaimar 1991: 33) sebagai berikut:
(1)   Sekuen haruslah terpusat pada satu titik perhatian (atau fokalisasi), yang diamati merupakan objek yang tunggal dan yang sama: peristiwa yang sama tokoh yang sama, gagasan yang sama, bidang pemikiran yang sama.
(2)   Sekuen harus mengurung suatu kurun waktu dan ruang yang koheren: sesuatu terjadi pada suatu tempat atau waktu tertentu. Dapat juga merupakan gabungan dari beberapa tempat dan waktu yang tercakup dalam satu tahapan. Misalnya satu periode dalam kehidupan seorang tokoh atau serangkaian contoh atau pembuktian untuk mendukung satu gagasan.
Analisis struktur naratif KP akan dibagi menjadi dua bagian, yakni: (1) urutan tekstual dan (2) urutan kronologis.
B.     Urutan Tesktual
Sebagai langkah awal dalam analisis struktur naratif, akan dianalisis urutan tekstual satuan cerita. Teks KP terdiri atas 24 bab, dan tiap bab tidak diberi judul. Urutan tekstual ini menunjukkan pemilahan teks dalam sekuen yang ditandai dengan angka Arab. Kadang-kadang sekuen masih dibagi lagi dalam satuan yang lebih kecil. Karena itu angka tandanya menjadi dua, tiga atau lebih.
Secara tekstual KP terdiri atas 24 bab. Namun setelah dilakukan analisis sekuen berdasarkan unit naratif sebagaimana tersebut di atas, dapat diperoleh sekuen wacana yang lain.
Urutan wacana merupakan urutan sekuen-sekuen yang memperlihatkan fakta-fakta dalam teks, urutan seperti yang ada dalam teks. Urutan wacana ini bermakna bagi teks, sebab jika urutan factual dalam teks ini diubah, maka maknanya juga akan berubah. Oleh karena itu urutan wacana itu penting dalam pemaknaan KP. Adapun urutan wacana dalam KP adalah sebagai berikut:
I.                     Meninggalnya Ida
II.                  Persiapan upacara pemakaman jenazah Ida
III.               Permana dan Saleha mengenang kehidupan Ida ketika remaja
IV.               Kehidupan remaja Ida yang menderita akibat kekejaman Permana
V.                  Permana sering bertindak kejam kepada istri dan anaknya
VI.               Permana kecewa dan menyeali nasibnya yang sial
VII.            Sumarto menumpang (indekos) di rumah Permana
VIII.         Sumarto menjalin cinta dengan Ida
IX.               Ida mulai jatuh cinta kepada Sumarto
X.                  Sumarto dan Ida mulai berani berhubungan cukup jauh
XI.               Permana curiga atas hubungan intim Sumarto dengan Ida
XII.            Permana mengusir Sumarto (dengan halus) dari rumahnya
XIII.         Ida hamil hasil hubungannya dengan Sumarto
XIV.         Permana dan Saleha sedih mengetahui Ida hamil pranikah
XV.            Permana dan Saleha sepakat untuk menggugurkan kandungan Ida
XVI.         Kandungan Ida gugur akibat minum cairan dari dukun
XVII.      Ida mengalami komplikasi sehingga kandungannya dioperasi
XVIII.   Sumarto menyesal Ida hamil akibat perbuatannya
XIX.         Pastor Murdiono menyarankan Sumarto segera mengawini Ida
XX.            Sumarto mencari tahu keadaan Ida
XXI.         Sumarto mengancam perbuatan Permana lewat surat kaleng
XXII.      Ida sangat lemah fisik dan psikis setelah dioperasi
XXIII.   Permana merasa lega setelah Ida keluar dari rumah sakit
XXIV.   Sumarto menemui Ida dan berniat untuk mengawininya
XXV.      Ida ingin segera kawin dengan Sumarto
XXVI.   Permana dengan berat hati menyetujui perkawinan mereka
XXVII.Ida dibaptis menjadi Katolik sebagai syarat perkawinannya
XXVIII.  Perkawinan Ida-Sumarto (Katolik) menimbulkan konflik
XXIX.        Mang Ibraim marah dan kecewa melihat perkawinan itu
XXX.           Ida dan Sumarto meninggalkan rumah Permana ke Jatiwangi
XXXI.        Upacara pemakaman jenazah Ida secara Katolik
XXXII.     Saifuddin berusaha menenangkan Saleha mengenai nasib Ida
XXXIII.  Permana stress berat dan akhirnya terganggu jiwanya, gila.
Melalui analisis dapat ditemukan bahwa sekuen, (selanjutnya disebut S-I, S-II dan seterusnya) yang satu dengan yang lain ternyata saling berkaitan membentuk satu kesatuan wacana yang bulat. Hal ini berarti bahwa jalinan cerita KP terpadu dengan baik, tidak tersendat-sendat. Terlihat dalam daftar sekuen di atas, bahwa meskipun KP secara tekstual terdiri atas 24 bab, setelah dilakukan analisis sekuen berdasarkan unit naratif, ternyata ditemukan 33 sekuen. Secara garis besar urutan sekuen memperlihatkan bahwa urutan wacana KP terbagi dalam dua kategori waktu, yakni masa kini dan masa lampau. S-I, S-II, S-III dan S-XXXI/XXXII/XXXIII merangkai kategori waktu masa kini, sedangkan S-IV sampai dengan S-XXX merangkai kategori waktu masa lampau.
C.    Urutan Kronologis
Dapat dilihat teks KP terdiri atas 24 bab. Bab satu dengan yang lain tidak diberi judul, melainkan masing-masing diberi angka. Urutan wacana itu, dalam kaitannya dengan urutan kronologis memisahkan antara waktu masa kini dengan masa lalu. Urutan kronologis diperoleh setelah ditentukan sekuen. Serangkaian sekuan itu menunjukkan bahwa urutan wacana mendukung penentuan urutan kronologis, keduanya sangat berkaitan erat. Lewat urutan wacana tersebut dapat diidentifikasikan urutan kronologis sebagai berikut.
1.      Ida remaja sering mendapat perlakuan kejam Permana (S-IV)
2.      Permana sering bertindak kejam terhadap Saleha dan Ida (S-V)
3.      Permana menyesali nasibnya yang sial (S-VI)
4.      Sumarto menumpang (indekos) di rumah Permana (S-VII)
5.      Sumarto menebarkan benih cinta kepada Ida (S-VIII)
6.      Ida mulai jatuh cinta kepada Sumarto (S-IX)
7.      Sumarto mulai menggauli Ida (S-X)
8.      Permana curiga atas keintiman Sumarto dengan Ida (S-XI)
9.      Permana mengusir Sumarto (dengan halus) dari rumahnya (S-XII)
10.  Ida hamil buah hubungannya dengan Sumarto (S-XIII)
11.  Saleha dan Permana sedih mengetahui Ida hamil (S-XIV)
12.  Permana dan Saleha sepakat menggugurkan kandungan Ida (S-XV)
13.  Kandungan Ida gugur oleh ramuan dukun (S-XVI)
14.  Ida dioperasi kandungannya di rumah sakit (S-XVII)
15.  Sumarto menyesali perbuatannya menghamili Ida (S-XVIII)
16.  Pastor Mordiono menyarankan Sumarto untuk mengawini Ida (S-XIX)
17.  Sumarto mencari tahu keadaan Ida (S-XX)
18.  Sumarto mengancam Permana dengan surat kaleng (S-XXI)
19.  Kondisi Ida sangat lemah setelah dioperasi (S-XXII)
20.  Permana merasa lega setelah Ida keluar dari rumah sakit (S-XXIII)
21.  Sumarto menemui Ida dan akan mengawininya (S-XXIV)
22.  Ida ingin segera kawin dengan Sumarto (S-XXV)
23.  Permana dengan berat menyetujui Ida kawin dengan Sumarto (S-XXVI)
24.  Ida dibaptis menjadi Katolik dengan perasaan terpaksa (S-XXVII)
25.  Perkawinan Ida dengan Sumarto secara Katolik menimbulkan konflik (S-XXVIII)
26.  Mang Ibrahim marah merasa kehilangan cucunya yang kini menjadi Katolik (S-XXIX)
27.  Ida dan Sumarto meninggalkan rumah Permana menuju Jatiwangi (S-XXX)
28.  Ida meninggal dunia (SI)
29.  Persiapan pemakaman jenazah Ida (S-II)
30.  Permana terkenang akan kehidupan masa lalu Ida (S-III)
31.  Pemakaman jenazah Ida secara Katolik (S-XXXI)
32.  Saifuddin berusaha menenangkan Saleha mengenai nasib Ida di akhirat (S-XXXII)
33.  Permana mengalami stress berat dan terganggu jiwanya (S-XXXIII)
Ke-33 sekuen itu tergolong ke dalam tiga komponen sekuen yakni (1) komponen sekuen yang menandai sorot balik penuh, (2) komponen sekuen yang menandai sorot balik tidak penuh, dan (3) komponen sekuen yang tidak mengandung sorot balik.
Hubungan sekuen-sekuen masa kini dengan masa lalu terjadi melalui ingatan, kenangan akan kesedihan, penyesalan dan sebagainya. Berdasarkan urutan kronologis wacana dapat ditemukan urutan logis. Urutan logis merupakan hubungan antarsekuen yang didasarkan pada peristiwa kausalitas atau sebab akibat.

D.    Penokohan
Kehadiran tokoh dalam suatu cerita dapat dilihat dari berbagai cara, yang secara garis besar dapat dibagi dalam tiga cara antara lain: (1) Cara analitis, yakni pengarang secara langsung menjelaskan dan melukiskan tokoh-tokohnya, (2) Cara dramatic, yakni pengarang melukiskan tokoh-tokohnya melalui gambaran tempat dan lingkungan tokoh, dialog antartokoh, perbuatan dan jalan pikiran tokoh, dan (3) Kombinasi keduanya (Saad dalam Ali, 1986: 123-124).
Penamaan tokoh (naming) menurut Wellek dan Warren (1980: 287) merupaan cara paling sederhana untuk menampilkan tokoh. Penamaan tokoh dapat juga berupa simbol, profesi dan pekerjaannya.
Tokoh merupakan bagian atau  unsur dari suatu keutuhan artistic yakni karya sastra, yang seharusnya selalu menunjang keutuhan artistic itu (Kenney, 1986: 25). Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peran sentral dalam cerita, menjadi pusat sorotan di dalam kisahan, dan yang pentin mempunyai intensitas keterlibatan yang tinggi dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Adapun tokoh bawahan adalah tokoh yang kedudukannya tidak sentral dalam cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama.
1.      Farida (Ida)
Pertama adalah tokoh utama Farida atau Ida. Ida disebut tokoh utama bukan semata-mata Ida adalah anak keluarga Permana yang menjadi judul novel ini, melainkan karena fungsi sentralnya dalam keseluruhan struktur KP. Ida menjadi pusat sorotan dan penggerak seluruh cerita. Itu sebabnya KP dimulai dengan kematian Ida sehingga seluruh cerita berjalan dengan sorot balik (flash back). Kematian Ida itu merupakan titik sentral dari seluruh teka-teki berbagai peristiwa dalam KP. Nama Farida memberikan gambaran kepada pembaca bahwa Ida adalah remaja Indonesia yang majemuk. Nama ini juga beperan mewakili gadis Indonesia pada umumnya.
2.      Sumarto
Tokoh kedua KP adalah Sumarto. Dalam KP sesuai dengan perannya, deskripsi psikologisnya cukup banyak dilakkan. Dari namanya, Sumarto telah membayangkan asalnya dari Jawa, tepatnya Yogyakarta. Adapun yang mencolok dari tokoh ini adalah keramahan dan sopan santunnya. Sikap dan kepribadiannya yang menarik membuat Permana cepat simpati kepadanya dan tanpa banyak pertimbangan menerimanya menumpang (indekos) di rumahnya.
3.      Permana
Tokoh KP yang juga berperan langsung terhadap jalan cerita KP adalah Permana. Deskripsi psikologis tokoh ini cukup menonjol. Permana kecewa berat ketika dia diberhentikan dari pekerjaannya karena tuduhan korupsi. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah bahwa atasannyalah yang benar-benar melakukan korupsi. Ia kecewa berat karena merasa diperlakukan tidak adil, dijadikan korban sebagai tertuduh pelaku korupsi. Inginnya ia protes tetapi ia tidak berdaya melawan orang besar, terhadang birokrasi. Ia frustasi terhadap lingkungannya.
Di balik karakternya yang keras dan kejam itu sebenarnya tersembunyi kasih sayang, rasa tanggung jawab yang besar terhadap anaknya, bahkan sikap bijaksana. Uniknya, selain keras, Permana juga orang yang realistis dan dapat juga bersikap sabar.
4.      Saleha (Eha)
Tokoh lain yang berperan dalam KP adalah Saleha (Eha). Tak jauhg berbeda dengan Permana, deskripsi fisik Saleha tidak pernah dinyatakan sama sekali. Melihat kedudukan dia sebagai istri Permana, maka dapat diduga bahwa Saleha hamper sebaya dengan Permana yakni mendekati setengah baya. Kehadiran tokoh ini penting untuk mendampingi Permana. Melalui sikap dan perilakunya, tokoh ini perannya cukup penting dalam menggerakkan berbagai peristiwa dalam KP. Digugurkannya kandungan Ida melalui dukun adalah usul Saleha. Dari pengguguran ini cerita lalu bergerak naik mendekati puncaknya.
Kesetiaan, ketaatan dan kepatuhan Eha dapat menyejukkan hati Permana saat menghadapi berbagai persoalan keluarga. Kesabaran Eha sering meruntuhkan kekerasan dan kekejaman Permana. Meskipun sabar dan tabah, Eha dapat bersikap tegas dalam membela kebenaran.
5.      Mang Ibrahim
Tokoh yang kontroverial dalam KP adalah Mang Ibrahim. Tokoh ini mempunyai peran penting dalam mengangkat tema cerita lewat kepribadiannya yang teguh, keras, dan pandangan agamanya yang radikal. Yang menonjol dari kehadiran Mang Ibrahim adalah deskripsi lingkungan sosialnya. Selaras dengan namanya Ibrahim – salah satu nama Rasul (Utusan) Allah, Ibrahim a.s. ayah Nabi Ismail a.s. – dia dilukiskan sebagai tokoh tua yang taat beragama, berpandangan Islam radikal, bergaris keras, dan tegas dalam prinsip agama. Ibrahim  mewakili tokoh agama dalam masyarakat yang beraliran ekstrem dalam masalah-masalah prinsipial agama yang tidak dapat ditoleransi. Karena itu kadang-kadang dia terkesan kurang keislaman dan kemanusiaannya. Justru itulah yang menarik dari Ibrahim dalam KP sebagai suatu fenomena yang juga sering terdapat dalam realitas sosial.
6.      Saifuddin
Begitu pula dengan Saifuddin. Kehadiran tokoh ini sebagai tokoh pendamping Mang Ibrahim. Secara fisik tokoh ini juga sama sekali tak disebutkan dalam teks. Mengingat dia adalah keponakan Saleha maka dapat dipahami, bahwa Saifuddin adalah tokoh yang lebih muda daripada Permana atau Saleha. Karena perannya dalam KP sebagai “pasangan” Mang Ibrahim dalam hal-hal mengungkap dimensi sosial keagamaan, maka kemudaan tokoh itu agaknya untuk memberikan kontras dengan pengetahuan keagamaannya yang cukup “tua’. Justru dengan usianya yang masih muda itu Saifuddin digunakan untuk menunjukkan, bahwa dalam hal ilmu pengetahuan termasuk ilmu dan wawasan agama (Islam), usia tidak merupakan patokan. Usia tua tidak mejadi jaminan dalam hal keluasan pandangan agama.
Berbeda dengan Ibrahim yang ditampilkan sebagai tokoh pemuka Islam yang radikal, Saifuddin dihadirkan sebagai tokoh yang memiliki pandangan Islam yang luas dan bijaksana. Keluasan wawasannya ini membuat Saifuddin sering berbeda pandangan dengan Ibrahim mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah dan praktik keagamaan.
7.      Pastur Murdiono
Tokoh yang juga berperan penting dalam pengembangan cerita KP adalah pastor Murdiono. Jika Ibrahim dan Saifuddin merupakan dua tokokh pemuka agama Islam yang memiliki pengaruh di masyaraka, maka Murdiono merupakan tokoh dari kalangan Katolik. Dengan demikian tokoh ini memegang fungsi penting dalam mengembangkan peristiwa yang berkaitan dengan segi-segi sosial keagamaan khususnya dari agama Katolik. Lewat tokoh-tokoh Ibrahim, Saifuddin dan Murdiono inilah masalah pokok dalam KP yakni dimensi sosial keagamaan tampak mencuat.
Disamping tokoh-tokoh tersebut, beberapa tokoh lain yang tidak dibicarakan seperti Nenek Tati, Nenek Lengkong, Surono, Sutarmi, Komariah, Kuraesin dan dr. Sudomo dipandang sebagai tokoh bawahan yang tidak berperan langsung dalam mempengaruhi kehidupan tokoh utama. Artinya, mereka tidak besar fungsinya dalam pengembangan jalan cerita KP.

E.     Latar
Moody (1972: 48) mengartikan latar sebagai tempat, sejarah, sosial, kadang-kadang pengalaman politik atau latar belakang cerita itu terjadi. Menurut Parkamin dan Bari (1973: 62) latar adalah penempatan mengenai waktu dan tempat termasuk lingkungannya. Fungsi utama latar adalah memberikan suasana (mood) pada cerita.

F.     Unsur Ruang
Unsur ruang dapat ditangkap pembaca melalui tiga cara, yakni: (1) pemakaian kata-kata yang mewujudkan sifat atau keadaan yang disebut, (2) kata-kata yang telah mempunyai pengertian tersendiri yang sudah baku, dan (3) pemakaian perbandingan. Ketiga cara itu terbentuk dalam wacana yang kecil. Pada wacana yang lebih besar unsur ruang dapat dilihat melalui (1) penunjukan arah suatu tempat tertenu, (2) dialog yang melukiskan perilaku tokoh, dan (3) deskripsi langsung oleh pengarang (Chatman, 1978: 101-103).

G.    Unsur Waktu
Dalam novel, aspek waktu pada umumnya meliputi lama berlangsungnya cerita dan penyebutan waktu secara eksplisit tertulis atau implicit dalam cerita. Secara garis besar ada dua periode waktu dalam KP yakni masa kini dan masa lalu. Latar waktu masa kini dalam KP dimulai sejak awal cerita yakni ketika Ia meninggal dunia hingga jenazahnya dimakamkan dan Permana kehilangan kewarasannya. Selebihnya adalah periode masa lalu. Setelah Ida meninggal cerita berjalan secara sorot balik (flash back) yakni sejak Ida remaja hingga Ida kawin dengan Sumarto, bahkan ditarik ke belakang lagi dengan masa lalu Permana ketika masih bekerja hingga dibehentikan dari pekerjaan.

H.    Unsur Sosial
Persoalan pokok KP adalah dimensi sosial keagamaan khususnya benturan sosial dalam kehidupan antarumat beragama. Tokoh-tokohnya berlainan agama. Mengamati latar sosial dalam KP, maka makin tampaklah bahwa pengarangnya adalah sastrawan sekaligus pengamat sosial yang jeli memandang fenomena sosial yang berkembang dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.
Latar itu makin menegaskan bahwa sejak awal hingga akhir cerita, dimensi sosial keagamaan khususnya perpindahan agama yang menimbulkan konflik dan benturan sosial dalam perikehidupan antar-umat beragama menjadi alur dalam KP.




1.      Kelebihan Dan Kekurangan Buku
1.    Keunggulan.
*        Memberikan pesan moral bagi siapa saja yang membacanya.
*        Mengangkat suatu realitas kehidupan manusia.
*        Dapat dijadikan sebagai pambelajaran suatu kehidupan bagi pembaca.
2.    Kelemahan.
*         Menurut saya dalam penggunaan bahasa yang digunakan sulit untuk dipahami.
*        Pembahasan isi buku trlalu bertele-tele dan kurang singkat.

2.      Kritik Dan Saran
1. Kritik           :
Sebagai buku yang fenomenal seharusnya buku ini dibuat semenarik mungkin dan bahasa yang mudah untuk dipahami pembaca.


2. Saran           :
Sebagai buku yang fenomenal seharusnya buku ini dibuat lebih menarik dan dengan bahasa yang mudah dipahami pula. Hal ini ditujukan untuk lebih menarik lagi untuk dibaca


Tidak ada komentar:

Posting Komentar